Kisah Kisah Kita

Friday, December 2, 2011

TUHAN..IJINKAN AKU UNTUK BERTAHAN DAN HIDUP

  FIKSI | 29 November 2011 | 09:52

Lelaki itu, pagi-pagi sekali sudah memacu motornya menuju kantornya di bilangan kota Jakarta. Wajahnya pucat dan tegang. Semalaman ia tidak bisa memejamkan matanya. Menunggu istrinya yang menahan sakit.

Dengan menahan lelah yang amat sangat. Lelaki itu menumbuhkan harapannya untuk segera sampai tujuan. Kemacetan pagi dan bau asap kendaraan tak digubris lagi.

Sepanjang jalan tiada hentinya berdoa. Terbayang wajah istrinya yang merintih menahan sakit. Terpaksa ia tak bisa membawa istrinya berobat. Sebab lelaki itu tidak memiliki biayanya.

Sebagai seorang salesman. Pendapatannya tak menentukan. Untuk melewati hari-hari bila menjelang akhir bulan. Terpaksa harus pinjam kanan-kiri. Ia merasa risih sebenarnya. Tapi mau apa lagi?

Pada awal bulan, menerima gaji hanyalah kegembiraan sesaat. Sebab harus dibagi ke sana-sini untuk membayar utang. Tak heran untuk membayar biaya sampai keteteran.

Lelaki itu adalah gambaran salah satu kemiskinan rakyat di negeri ini. Hidup dalam kesesakan dan keterdesakan ekonomi. Akibat pendapatan yang tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sederhana sekalipun.

Tanpa terasa, airmatanya berurai. Pasti itu adalah airmatan kesedihan yang sudah lama tertahan. Ia terus memacu motornya. Berharap bisa cepat bertemu pimpinannya. Karena ia sangat membutuhkan uang untuk biaya berobat hari itu juga.

Ia sedikit bisa menarik nafas lega. Pimpinan sudah berada di tempat. Tanpa menunggu waktu dan berbasa-basi. Lelaki itu langsung mengutarakan maksud kedatangannya.

“Kas lagi kosong! Tagihan kita bulan ini banyak yang macet!” jawaban yang benar-benar tak disangka oleh lelaki itu.

Niatnya mengajukan pinjaman senilai lima ratus ribu untuk berobat tak terpenuhi. Apakah atasannya tidak percaya? Apakah alasan istri sakit tidak cukup kuat untuk memberi pinjaman?

Lelaki itu hanya diam. Tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan ia tidak bisa merasa marah. Hatinya hanya bisa menangis dan menjerit. Ia tidak ingin mengemis dan berdebat.

“Ke mana lagi aku harus mencari pinjaman?” batin lelaki itu. “Di tempat kerja saja tidak dapat, apalagi di luar? Ini juga lagi tanggal tua.”

Lalu ia minta ijin pada pimpinannya. Dijinkan atau tidak, ia tetap akan pulang. Dengan langkah berat dan gontai lelaki itu meninggalkan kantornya. Pikirannya kacau. Hatinya galau. Pandangannya kosong. Ada gurat putus asanya.

Saat memacu kendaraannya pulang, terbersit ingin sekali ia menabrak kendaraan yang ada di depannya. Membelokkan kendaraannya masuk ke kali yang ada di samping jalan.

Bukankah mati adalah termasuk pilihan dalam hidup? Buat apa hidup? Dari hari ke hari hanya kesunyian yang dilalui. Bahkan untuk mengobati istri saja tak mampu.

Usaha hasilnya hanya kesia-siaan. Doa pun hanya senyap ditelan kebisingan. Airmatan pun dianggap kecengengan. Mati adalah pilihan yang lebih baik.

Begitulah pikiran negatif memenuhi kepala lelaki itu. “Rasanya aku tak sanggup lagi!”

Namun dalam waktu bersamaan ada suara yang menguatkan. Di antara kebisingan jalanan. Jauh di dalam lubuk hatinya yang sunyi. Ada suara yang menyejukkan. “Bertahanlah sahabatku. Bertahanlah. Semua pasti akan berlalu!”

Dalam keadaan putus asa dan perasaan kecewa yang amat sangat. Lelaki itu berusaha tersenyum. Ada sedikit kelegaan. Berdoalah ia,”Tuhan, ijinkan aku terus bertahan. Aku ingin tetap hidup. Sebab aku percaya masih ada harapan yang indah. Aku percaya dan kuat bila mengingat Engkau. Aku harus bertahan!”

SEGALA KESUSAHAN DAN KESEDIHAN PASTI AKAN BERLALU. PERCAYA DAN BERTAHAN DALAM KEYAKINAN..SAMPAI TUHAN MEMBUKA PINTU KELEGAAN.

Source : K. Rajawen (fiksi.kompasiana.com)

No comments:

Post a Comment