Kisah Kisah Kita

Sunday, November 27, 2011

HATI YANG KAU SAKITI



Reyta Yuki Kato, itulah nama lengkapku. Ku terus memandangi undangan pernikahan dengan background foto ku dengan calon suami ku, William. Kami telah melewati berbagai rintangan dan permasalahan. Kami juga telah mengenal satu sama lain hingga memutuskan untuk menikah. Aku terus tersenyum bahagia memandanginya. Hanya beberapa bulan lagi, kita akan bersatu.

Umur pacaran yang hampir 6 tahun, akan kami akhiri dengan kata pernikahan. Aku mendekap undangan itu dan menerawang, membayangkan kembali ketika William meminangku beberapa hari yang lalu.

Kepercayaan, cinta, itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Terkadang rasa sakit yang ku terima dari dirinya tiba-tiba hilang tanpa bekas. Aku hari ini akan menjumpainya selepas pekerjaan fotografernya selesai. Aku bangkit, memakai kemeja di bawah pinggang dan jins. Memoles wajahku dan mengenakan kerudung yang dibelikan William untukku. Dengan sigap aku memasukkan undangan itu dan beberapa keperluanku. Mengenakan high heels yang menambah tinggiku menjadi semampai.

Aku sedikit tersentak, dan duduk di sisi kasurku yang bawah. Jantungku seperti terpacu dengan cepat. Mungkin ini ketegangan pernikahan, pikirku. Aku menuruni tangga, dengan terus memegang dadaku. Berharap jantungku kembali terpacu dengan normal.

“Kamu kenapa, Rey?” tanya Ibuku.

Aku memeluk Ibuku erat sekali, “Reyta gugup, Bu.”

Ibu melepas pelukanku dan membelai rambut ku dengan jemarinya yang telah menua, “Jangan gugup. Ini kan yang kamu tunggu-tunggu selama ini. Kamu mau menemui nak William?”

“Iya, Bu. Reyta berangkat dulu ya.” Aku mencium tangan ibuku dan segera berangkat.

Jantung ku sekarang mudah terpacu dengan cepat, mimpi-mimpi buruk juga sering menghantui ku. Tapi aku selalu menepisnya.

Handphone ku berdering, “Halo?” aku mengangkat teleponnya.

Mendengar kata-kata dari penelepon itu, aku terduduk lemas, tubuhku menegang, jantungku semakin terpacu dengan kuat, badanku terasa panas, tetapi kurasakan sesuatu yang basah menetes di pipiku. Aku menangis. Aku berlari ke dalam mobilku. Takut Ibuku akan melihat tangisku. Aku melajukan mobilku dengan cepat, sangat cepat. Hingga tak kuat berkonsentrasi. Aku menelepon William untuk bertemu di taman saja.

Tak terasa, William telah melampui kedatanganku. Dia duduk di kursi panjang putih. Aku menatapnya lekat-lekat dan duduk di sampingnya.

“Kangen ya..,” ucap William jail kepadaku.

Kangen? Memang. Karena aku telah tidak bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.

“Siapa Leira?” tanya ku tiba-tiba.

“Leira?” William malah kembali bertanya.

“Iya, Leira Syahara. Siapa dia? Hubungannya apa denganmu?” tanya ku dengan tatapan elangku.

William menggenggam tanganku erat, dan menundukkan kepalanya, “Iya, aku ada hubungan dengannya.”

Aku tersentak, ternyata isu itu benar kenyataan, sesuatu menetes di pipiku. William menyekanya.

“Maaf. Bukan maksudku untuk berpaling darimu, Rey. Tetapi aku telah menetapkan pilihannya denganmu. Aku menikahimu,” ucap William.

“Apa? Semudah itu kah kau? Mempermainkan hatiku? Aku bukan bonekamu, William! Kamu tau?? Hatiku terasa sakit sekarang. Rasanya sesuatu menghantam hatiku. Pecah? Berkeping-keping!” ucapku seraya ingin pergi, tetapi William menahanku.

Dia bersujud di kaki dan meminta maaf. Memohon agar aku tak pergi dari sisinya.

“William, kalau aku yang terbaik buatmu. Seharusnya kamu nggak melakukan ini terhadap hubungan kita,” aku meneteskan air mataku.

“Maaf..maaf Rey. Aku..aku benar-benar khilaf. Aku salah, Rey. Tapi please... Don’t leave me,” ucapnya yang terus bersujud di kaki ku.

Aku mengangkat tubuhnya dari kakiku, dan mendudukkannya di depan ku. Aku mengambil undangan pernikahan kami, dan aku menyobeknya di depan wajahnya.

Dia mengambil serpihan undangan itu dan mendongak kepadaku, “Rey, apa maksudmu?”

“Kamu bertanya apa maksudku? Pernikahan kita BATALLLLLLLLLLLLLLL!!!!!!!!!” ucapku dengan berteriak sekencang-kencangnya.

“APA?”

“Dengar ya, William. Aku akan melepasmu. Silahkan dengan wanita itu!,” aku berbalik dan ingin pergi.

Tapi tangan William menahanku, “Jangan pergi...”

Aku berbalik, “William, kamu tau? Mungkin aku tidak bisa apa-apa jika tanpamu. Tapi sakit yang kamu berikan melampaui batas. Aku tak pernah sekali pun berpaling darimu. Aku menjaga cintamu. Selalu dan selalu. Tapi apa balasan darimu? ha??? apa balasan darimuuuu??? Air susu dibalas dengan air tuba!!!”

“Rey, kasih aku kesempatan. Akan aku perbaiki semuanya..pasti akan kuperbaiki..please Rey.”

“Perbaiki? Telat..William. Kamu tau? Kamu tidak akan pernah melihatku lagi!!”

Jdeerrr!!! Petir tiba-tiba muncul dengan suaranya yang maha dahsyat. Apakah perkataan itu akan benar-benar terjadi.

“Kamu ngomong apa, Rey? Jangan pernah berkata seperti itu,” ucap William.

Aku berlari menghindarinya. Berlari sekuat tenaga. William berlari di belakangku. Aku menaiki mobilku dan melajukannya dengan kilat. Secepat kilat.

Aku sulit berkonsentrasi, hingga mobilku menabrak sebuah truk yang melintas di depanku. Aku terasa terkoyak. Jantungku semakin melemah, dan darah segar mengalir di wajahku. Aku merasakan seseorang membopongku. Aku merasakan kehangatannya. Dia membelai wajahku. Menghapus darah yang mengalir di wajahku.

“William...,” desahku dengan lemah.

“Reyta, kamu harus kuat.. Kamu harus kuat.. Aku mencintaimu..aku mencintaimu Rey” ucap William sambil menangis

Sesuatu yang hangat menyentuh keningku, dan kecupan manis di bibirku.

"William... Kamu mencuri satu kecupan dariku.”

“Rey, jangan bicara. Please... Kamu harus bertahan..kamu harus bertahan..” William menangis lagi

William menggenggam tanganku sangat erat. Hingga kurasakan tangannya meremukkan tulangku. Aku tak bisa merasakan kakiku lagi, tiba-tiba semua terasa gelap. Kehangatan William tak lagi kurasa. Hanya gelap dan dingin. Tiba-tiba Kakekku yang telah tiada, membawakan ku sebuah kerudung putih yang bersinar. Aku mengenakannya. Aku digandeng kakekku. Aku merasa hangat dan bersinar.

Iya, aku yakin. Aku telah tiada.

Reyta Yuki Kato, batu nisan terpampang di kuburannya. William menangis di samping batu nisan Reyta, hingga memeluknya.

“Rey, kenapa kamu tinggallin aku,” William menangis.

“Nak William. Ikhlaskan Reyta pergi. Ayo pulang,” ajak Ibu Reyta.

“Nggak, Tante. William masih mau di sini. Reyta nggak mungkin pergi. Reyta pasti akan bangun.”

Ibu Reyta akhirnya meninggalkan William seorang diri.

HMM..JANGAN PERNAH MENYIAKAN CINTA YANG TELAH KALIAN GENGGAM SELAMA ORANG ITU MASIH HIDUP.

Source : Kumpulan story Stefyuk






No comments:

Post a Comment