Kisah Kisah Kita

Monday, November 7, 2011

MAKNA DI BALIK SERAGAM POLISI

Kepahitan semakin terasa saat Yang Maha Kuasa menakdirkan Ahmad Junaedi menjadi seorang tuna wicara dan memiliki cacat bawaan sejak lahir. Hanya bahasa isyarat yang dapat dilakukannya untuk dapat berkomunikasi dengan orang sekitarnya.

Pagi ini, jam tangan baru menunjukan pukul 07.00 pagi. Seorang lelaki tiga puluhan tahun berjalan terseok-seok, keluar dari rumahnya di salah satu gang di Ciledug, Tangerang, Banten, tepatnya di pinggiran barat Kota Jakarta.

Bertumpu pada kedua lutut dan tangannya, Ahmad Junaedi, menuju sebuah lahan parkir tak jauh dari rumahnya. Disinilah Junaedi bekerja, dari pagi hingga malam.

Melangkah hati-hati, juru parkir tepi jalan HOS. Cokroaminoto, Ciledug itu menyeberang membelah keramaian lalu lintas.

Usai beristriharat sejenak, Junaedi mulai mencari posisi di sudut toko.

Dia mengawasi kendaraan yang keluar dan masuk area yang dijaganya. Beberapa waktu sebelumnya, Junaedi juga menjadi tukang parkir di halaman sebuah bank tak jauh dari apotik tempat ia biasa mangkal.

Namun karena persaingan lahan parkir yang cukup ketat, ia pun tersingkir. Maklum, pesaing Junaedi di sana perangainya kasar dan memiliki fisik yang lebih sempurna dari dirinya.

Junaedi pun harus rela menempati lahan parkir yang sepi.

“Ha-ha-ha-sil parkir tu-tu-turun, (cuma cukup buat) ma-ma-ma-kan,” ujar Junaedi sambil menggerak-gerakkan tangannya, seolah dia sanggup berbicara.

Sebelumnya, ia menggunakan kursi roda. Namun, sudah beberapa bulan ini kursi roda yang selalu menemaninya pergi ke sana kemari, rusak. Junaedi pun harus bersusah payah berjalan agar bisa sampai ke tempat–tempat yang ingin ditujunya.

Menekuni profesi tukang parkir sudah dilakoni Junaedi sejak 15 tahun lalu. Terlahir dengan cacat fisik, tidak membuat bungsu dari empat bersaudara itu merasa minder dan menarik diri dari hiruk pikuknya dunia luar atau menggantungkan hidupnya kepada orang lain.

Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup mandiri, makan, minum, berpakaian dan aktivitas lainnya dilakukan sendiri. Ia tak mau merepotkan keluarga atau orang lain di sekitarnya.

Baginya, tak ada hal yang paling membahagiakan selain bisa diterima oleh masyarakat.

Bukan sekali atau dua kali laki-laki malang ini menjadi bahan tertawaan dan ejekan orang. Terutama anak-anak yang melintas di dekatnya. Entah sudah berapa pasang mata yang menjadikannya sebagai pusat perhatian. Ada yang menaruh perihatin, terharu, namun ada pula yang menyeringai saat melihat penampilannya.

Apapun tanggapan yang dilontarkan oleh masyarakat, semua selalu ditanggapinya dengan senyuman.

“Sa-sa-saiaya ikhlas...,” ucap terbata-bata, dibarengi gerakan tangan mengurut dada.

Namun, kemandirian dan tekadnya yang tak kenal menyerah membuat orang-orang di sekelilingnya angkat topi. Usaha dan kegigihannya untuk bisa sejajar dengan orang normal, membuat keberadaannya menjadi dihormati oleh tetangga dan orang-orang sekitar tempat bekerja.

Hmm..siapa pun tak ada yang ingin hidup susah, apalagi kekurangan secara fisik. Termasuk Junaedi yang menjalani hidup keras ini dengan segala kekurangan. Jika dia bisa berbicara dengan lancar, entah apa yang akan dikatakan Junaedi tentang takdirnya.

Terdengar dengan nada yang terbata dan gerakan tangannya, pria kelahiran Jakarta tahun 1972 ini berkisah, sejak kecil bercita-cita ingin menjadi seorang polisi. Namun karena terlahir dalam kondisi fisik yang kurang sempurna, ia pun harus mengubur keinginannya dalam-dalam.

Lewat sebuah bahasa isyarat, ia selalu mengatakan, cita-cita boleh tidak kesampaian, tetapi semangatnya untuk menjadi seorang polisi tetap berkobar.

Karena itulah, ketika lalu lintas disekitar areal parkirnya dia akan meninggalkan pekerjaannya, untuk pergi ke perempatan jalan. Disana dia membantu mengatur kelancaran lalulintas kendaraan, agar kemacetan segera berkurang.

Mendengar cerita dan kebesaran tekadnya, seorang anggota polisi pernah memberikan Junaedi seragam polisi. Lengkap dengan atributnya seperti topi, peluit, tongkat pemukul, hingga sepatu dinasnya.

Setidaknya baju seragam itu bisa sedikit mengobati kesedihannya lantaran tak bisa menjadi anggota polisi yang sesungguhnya.

Hari demi hari dilalui Junaedi dengan kebesaran jiwa. Tak peduli betapa teriknya matahari, derasnya guyuran hujan dan dinginnya angin malam menusuk tulang, lelaki ini mencoba untuk tetap bertahan. Ditengah keterbatasannya, selalu berusaha mengutamakan kepentingan orang lain, daripada kepentingan pribadi, mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan materi dan diri sendiri.

Seandainya, para pemimpin-pemimpin Polri bisa mengadopsi mentalitas dan semangat Junaedi, maka, barangkali tidak akan ada yang namanya kasus 'rekening gendut perwira polisi'. Kasus yang membuat sebagian besar polisi merasa risih, termasuk polisi yang selama ini merasa bersih.

HIDUP MENJADI BERARTI BUKAN DILIHAT DARI SIAPAKAH DIRI ANDA..TAPI BAGAIMANA ANDA MEMBUATNYA BERARTI :)

Source : Ahmad Fadli/Era Baru News

No comments:

Post a Comment