Entah sejak kapan mulainya, sudah lama manusia hidup hanya dengan sebuah
tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan. Di Jepang
dan berbagai belahan dunia lainnya, tidak sedikit manusia yang mengakhiri
hidupnya semata-mata karena kalah. Karena semua hal yang melekat pada
kekalahan serba negatif..jelek..hina.
Sekolah sebagai tempat di mana masa depan disiapkan rupanya ikut-ikutan.
Melalui program serba juara, sekolah ikut memperkuat keyakinan bahwa
‘kalah itu musibah’. Tempat kerja juga serupa. Tidak ada tempat kerja yang
absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semuanya mau pangkatnya naik. Lebih-lebih dunia politik. Tidak ada yang
mau turun.
Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Kemenangan ibarat padi
bagi petani, seperti ikan buat nelayan. Ia pembangkit energi yang membuat
kehidupan berputar. Ia pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Namun
seberapa besar pun energi maupun semangat manusia, bila putaran waktunya
kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.
Oleh karena itulah, orang bijaksana belajar melatih diri untuk
tersenyum baik di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha,
bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun bila hadiahnya kekalahan, hanya senyuman
yang memuliakan perjalanan.
Membawa tropi sebagai simbol kemenangan itu indah. Dihormati karena menang
juga indah. Tapi tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang pandangannya
mendalam yang bisa melakukannya.
Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih
memuliakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Terutama karena di depan
kekalahan manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini
berfungsi seperti amplas yang menghaluskan kayu yang mau jadi patung berharga
mahal. Serupa pisau tajam yang sedang melukai bambu yang akan jadi seruling
yang mewakili keindahan.
Kesabaran, kerendah-hatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas
yang sedang dibuka oleh kekalahan. Serangkaian hadiah yang tidak mungkin
diberikan oleh kemenangan. Ia yang sudah membuka pintu ini, akan berbisik : Kalah juga indah!.
Jarang terjadi ada manusia yang mengukir makna mendalam ditengah
gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah sekali membuat
manusia tergelincir ke dalam kemabukan dan lupa diri. Pengukir-pengukir
makna yang mengagumkan seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi,
Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh semuanya melakukannya di
tengah-tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima hadiah nobel
perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh
senat AS, setelah melewati kesedihan dan kekalahan selama puluhan tahun
di pengasingan.
SEORANG GURU PERNAH BERPESAN : "OLD FRIENDS PASS AWAY..NEW FRIENDS APPEAR. THE MOST IMPORTANT THING IS TO MAKE IT MEANINGFUL". SEMUA DATANG DAN PERGI, KEMENANGAN, KEKALAHAN, KEBERUNTUNGAN, KESIALAN, YANG PALING PENTING ADALAH BAGAIMANA MENGUKIR MAKNA DARI SANA.
Source : Gede Prama-kompas.com/ inspirasijiwa.com
No comments:
Post a Comment