Imlek
tinggal menghitung hari, banyak orang yang tersenyum ceria siap-siap
menyambut hari penuh kebahagiaan ini, tapi tidak untuk Lie Mei. Lie Mei
harus banyak menghela nafas dan mengusap dada setiap kali teman-teman
setingkatannya di kelas 4 SD saling menunjukkan baju baru yang dibelikan
oleh orang tuanya masing-masing. Bagi Lie Mei untuk Imlek yang ke tiga
kalinya ini ia harus kembali merayakan imlek seadanya, membuang angan-angan untuk mendapatkan ang pao atau sekedar ciuman dari ayahnya.
Tiga tahun lebih sudah, Ayah Lie mei bekerja menjadi TKI di negeri
Taiwan, jangankan mengirimkan sejumlah uang untuk membelikan baju,
berkirim kabarpun tidak. Ibunya yang hanya bisa mengais rejeki dari
mencuci pakaian tetangga sekitarnya tidak sanggup untuk membelikan yang
Lie Mei inginkan.
Beruntung, meskipun masih kecil Lie Mei sudah
mampu mengendalikan hasratnya, paling tidak dihadapan ibunya. Lie Mei
tidak mau ibunya semakin terbebani dengan kemauan-kemauannya. Lie Mei
tahu, meskipun ibunya tidak mampu membelikan apa yang ia inginkan bukan
berarti ibunya tidak memahami apa yang diinginkannya. Walau kadang di
belakang ibunya tak kuat lagi meneteskan air mata, ia terus berusaha
tersenyum ceria sebisa mungkin dihadapan ibunya.
Adakalanya,
Imlek adalah salah satu momen yang kurang Lie Mei sukai. Ingin sekali
rasanya kalau hidup ini tidak ada Imlek, tidak ada hari yang harus
membuat ia bersedih. Tapi Lie mei pun sadar, tidak ada yang salah dengan
hari Imlek, yang salah adalah ketika kita salah menyikapi dan
merayakannya. Dan meskipun demikian, Lie Mei sangat bersyukur betul
mempunyai ibu yang benar-benar pahlawan, inspirator dan motivator bagi
dirinya.
Malam menjelang Imlekpun tiba, suara-suara petasan
dari berbagai gang-gang di kota Pontianak..akhirnya meruntuhkan benteng
senyuman Lie Mei. Ia tak kuat lagi menahan air matanya yang sudah
bergelayut kuat di pelupuk mata. Sebisa mungkin ia menahan air matanya,
tapi memang ia sudah tak sanggup lagi, bibirnya kelu, alur napasnya
terbata-bata, seketika ia peluk ibunya dengan erat-erat, sang ibupun tak
sanggup membendung air matanya. Ibu dan putri darah dagingnya
berpelukan dengan penuh deraian air mata.
Lebih dari sepuluh
menit lamanya Lie Mei dan ibunya berpelukan, selain tangisan tak ada
satu katapun yang terucap dari keduanya. Sebagai seorang ibu, ibu Lie
Mei faham betul apa yang sedang dirasakan didalam diri putri semata
wayangnya. “Gak terasa besok sudah Imlek ya bu…..Lie Mei merasa berdosa
sudah banyak menyusahkan ibu, Lie Mei sudah banyak menjadi beban pikiran
ibu, Lie Mei sudah membuat ibu bersedih”, suara Lie Mei memecah suasana
yang penuh tangisan. Ibu Lie Mei tidak menjawab satu katapun, beliau
belum bisa mengendalikan nafas dan tangisannya. Ibu Lie Mei hanya bisa
menganggukkan kepala dengan air mata yang terus bercucuran dipipinya.
Iya..Lie Mei merasa berdosa, merasa berdosa karena ia tidak mampu
membendung air matanya sehingga membuat ibunya pun larut dalam tangisan,
padahal ia sama sekali tidak ingin membuat ibunya bersedih di hari
bahagia..hari Tahun Baru yang dirayakan oleh masyarakat keturunan
Tionghoa di seluruh dunia, Lie Mei sadar bahwa ibunya sudah banyak
melakukan segalanya melebihi batas kewajiban sebagai seorang ibu.
Ibu Lie Mei, masih tersedu-sedu dalam tangisan, serasa bingung mau
menjawab apa. Banyak hal yang membuat mereka bersedih. Penjelasan apa
yang harus disampaikan pada Lie Mei, membuat ibu Lie Mei semakin
bersedih. Keduanya sama-sama tahu dan sama-sama saling memahami. Persis
malam itu hanya Lie Mei, Ibu Lie Mei, Malaikat, dan Tuhan saja yang tahu
apa yang sedang dirasakan oleh Lie Mei dan Ibunya, dimana saat
bersamaan orang-orang disekitar rumah Lie Mei sedang riang gembira
bercengkerama berbagi ang pao dengan seluruh anggota keluarganya.
SELAMAT HARI RAYA IMLEK BAGI YANG MERAYAKAN....新年快樂 (Xin nian khuai le!) :)
No comments:
Post a Comment