Kisah Kisah Kita

Wednesday, April 25, 2012

HIKMAH SEBUAH KATA

Di suatu kampung bernama kampung manggis tinggal seorang pemuda bernama Banu, di kampungnya Banu terkenal brutal dan emosinya yang tidak terkontrol. Dengan sikapnya yang begitu dia bukannya disegani masyarakat. Eh malahan dia ditakuti dan kalau bisa mereka tidak mau cari masalah dengan dia. Salah-salah malahan bogem mentah melayang.

Hari itu panas matahari terasa sangat menyengat. Si Banu jalan-jalan di pasar buat membeli keperluan sehari-hari. Seperti biasa tiap kali Banu jalan-jalan di pasar pasti serasa jalan itu punya engkong nya. Bukan berarti jalanan sepi senyap kayak kuburan lho. Ternyata masyarakat yang ada udah pada nyingkir radius 1 meter dari dia. Salah-salah ada yang nyenggol si Banu, pulang-pulang muka bisa hijau lebam.

Tiba-tiba ada Bapak paruh baya yang sedang buru-buru menabrak dia sampai barang belanjaannya Banu jatuh berceceran di lantai. Dapat ditebak gimana reaksi si Banu. Mukanya jadi merah, luapan emosinya udah sampai ke ubun-ubun.

Banu : “Hei Paakk..matamu di taroh dimana??” ”Jelas-jelas badan gw sebesar ini..apa masih kurang gede??”

Tanpa sempat berkata apa-apa, Bapak yang gemetaran tersebut langsung di cangking kerah bajunya dan diberi 3 tinjuan. Masyarakat yang lalu lalang pun hanya dapat iba atas nasib bapak tersebut dan sepeninggal Banu langsung membantu Bapak tersebut berdiri.

Pada suatu hari saudara si Banu datang dari kampung seberang. Orangnya tenang, sabar, dan tidak gampang emosian, jauh berbeda dengan Banu. Pemuda itu bernama Iman.

Besok nya si Iman ceritanya minta diajak jalan-jalan sama si Banu. Maklum si Iman belum pernah datang ke kampung nya Banu.

Seperti biasa jalan-jalan seakan milik mereka berdua. Kayak jalan tol bebas hambatan, tentu saja karena perangainya Banu.

Ceritanya lagi ada seorang kakek yang menabrak Iman. Bruuuuuuk..keduanya terjatuh. Si Banu membantu Iman berdiri dan kakek tersebut bangun sendiri. Si Banu ikut naik pitam biarpun bukan dirinya yang ditabrak tetapi saudaranya.

Iman : “Kek, Maaf yah udah nabrak kakek. Apakah ada yang luka?”

Kakek :”Gak apa cu, kakek juga salah habis kakek jalan asal nyelonong ajah.”

Pada hari itu si Banu diajarkan si Iman pelajaran berharga mengenai kata “Maaf”.

Pemandangan yang jauh berbeda jika kakek tersebut bertemu sama si Banu, dijamin suasananya pasti akan panas. Banu tidak mau menerima alasan apapun, jika ada yang telah mengganggunya pasti tangannya ikut “bermain”. Bogem mentah pun melayang.

Dalam perjalanan pulang dia bertanya pada Iman.

Banu :”Man, kog tadi kamu biarin ajah tuh si kakek nabrak kamu?gak kamu hajar ajah tuh kakek?lagian juga bukan kamu yang salah ngapain minta maaf”

Iman :”Gag dunk nu, itu kan hal yang sepele. Emang sih si kakek yang nabrak tapi kan kasihan kalau dia musti digebukin.”

Iman :” Apalah arti kata “Maaf”, biarpun bukan kita yang nabrak dia doloan, tapi dengan adanya kata “Maaf” akan membuat suasana lebih nyaman dan tenang.

Manusia di kehidupannya sehari-hari, seringkali hanya karena masalah sepele bisa menimbulkan percekcokan, pertengkaran, permusuhan, bahkan dalam skala besar bisa menimbulkan peperangan. Semua berpangkal pada keinginan memuaskan ego atau gengsi manusia yang merasa benar sendiri, mau menang sendiri. Kalau itu tidak bisa dikendalikan dengan baik, maka akan timbul dampak kelanjutannya berupa lahirnya kebencian, dendam, dan penderitaan yang berkepanjangan.

Jika manusia mampu meredam ego, mau menang sendiri, dan berinisiatif mengakui kesalahan dan memohon maaf, seperti cerita di atas tadi, maka banyak masalah pertengkaran dan permusuhan bisa diredam bahkan dihilangkan. Sebagai gantinya, akan lahir kedamaian dan keharmonian yang seutuhnya.

MENGAKUI KESALAHAN DAN MEMINTA MAAF MEMBUTUHKAN JIWA BESAR. BERJIWA BESAR TENTU BUTUH BELAJAR DAN BERLATIH DI SETIAP KESEMPATAN.

Source       : rahasia-masa-depan.blogspot.com (William Eight)
Picture by  : spotgooblog.blogspot.com

No comments:

Post a Comment