Di suatu kampung bernama kampung manggis tinggal seorang pemuda
bernama Banu, di kampungnya Banu terkenal brutal dan emosinya yang tidak
terkontrol. Dengan sikapnya yang begitu dia bukannya disegani
masyarakat. Eh malahan dia ditakuti dan kalau bisa mereka tidak mau cari
masalah dengan dia. Salah-salah malahan bogem mentah melayang.
Hari
itu panas matahari terasa sangat menyengat. Si Banu jalan-jalan di
pasar buat membeli keperluan sehari-hari. Seperti biasa tiap kali Banu jalan-jalan di pasar pasti serasa
jalan itu punya engkong nya. Bukan berarti jalanan sepi senyap kayak
kuburan lho. Ternyata masyarakat yang ada udah pada nyingkir radius 1
meter dari dia. Salah-salah ada yang nyenggol si Banu, pulang-pulang
muka bisa hijau lebam.
Tiba-tiba ada Bapak paruh baya yang sedang buru-buru
menabrak dia sampai barang belanjaannya Banu jatuh berceceran di lantai.
Dapat ditebak gimana reaksi si Banu. Mukanya jadi merah, luapan
emosinya udah sampai ke ubun-ubun.
Banu : “Hei Paakk..matamu di taroh dimana??” ”Jelas-jelas badan gw sebesar ini..apa masih kurang gede??”
Tanpa sempat berkata apa-apa, Bapak yang gemetaran tersebut langsung di cangking kerah bajunya dan diberi 3 tinjuan. Masyarakat
yang lalu lalang pun hanya dapat iba atas nasib bapak tersebut dan
sepeninggal Banu langsung membantu Bapak tersebut berdiri.
Pada suatu hari saudara
si Banu datang dari kampung seberang. Orangnya tenang, sabar, dan tidak
gampang emosian, jauh berbeda dengan Banu. Pemuda itu bernama Iman.
Besok nya si Iman ceritanya minta diajak jalan-jalan sama si Banu. Maklum si Iman belum pernah datang ke kampung nya Banu.
Seperti biasa jalan-jalan seakan milik mereka berdua. Kayak jalan tol bebas hambatan, tentu saja karena perangainya Banu.
Ceritanya
lagi ada seorang kakek yang menabrak Iman. Bruuuuuuk..keduanya
terjatuh. Si Banu membantu Iman berdiri dan kakek tersebut bangun
sendiri. Si Banu ikut naik pitam biarpun bukan dirinya yang ditabrak
tetapi saudaranya.
Iman : “Kek, Maaf yah udah nabrak kakek. Apakah ada yang luka?”
Kakek :”Gak apa cu, kakek juga salah habis kakek jalan asal nyelonong ajah.”
Pada hari itu si Banu diajarkan si Iman pelajaran berharga mengenai kata “Maaf”.
Pemandangan yang jauh berbeda jika kakek tersebut bertemu sama si Banu, dijamin suasananya pasti akan panas. Banu
tidak mau menerima alasan apapun, jika ada yang telah mengganggunya
pasti tangannya ikut “bermain”. Bogem mentah pun melayang.
Dalam perjalanan pulang dia bertanya pada Iman.
Banu
:”Man, kog tadi kamu biarin ajah tuh si kakek nabrak kamu?gak kamu
hajar ajah tuh kakek?lagian juga bukan kamu yang salah ngapain minta
maaf”
Iman :”Gag dunk nu, itu kan hal yang sepele. Emang sih si kakek yang nabrak tapi kan kasihan kalau dia musti digebukin.”
Iman
:” Apalah arti kata “Maaf”, biarpun bukan kita yang nabrak dia doloan,
tapi dengan adanya kata “Maaf” akan membuat suasana lebih nyaman dan
tenang.
Manusia di kehidupannya sehari-hari, seringkali hanya karena masalah
sepele bisa menimbulkan percekcokan, pertengkaran, permusuhan, bahkan
dalam skala besar bisa menimbulkan peperangan. Semua berpangkal pada
keinginan memuaskan ego atau gengsi manusia yang merasa benar sendiri,
mau menang sendiri. Kalau itu tidak bisa dikendalikan dengan baik, maka
akan timbul dampak kelanjutannya berupa lahirnya kebencian, dendam, dan
penderitaan yang berkepanjangan.
Jika manusia mampu meredam ego,
mau menang sendiri, dan berinisiatif mengakui kesalahan dan memohon
maaf, seperti cerita di atas tadi, maka banyak masalah pertengkaran dan
permusuhan bisa diredam bahkan dihilangkan. Sebagai gantinya, akan lahir
kedamaian dan keharmonian yang seutuhnya.
MENGAKUI KESALAHAN DAN MEMINTA MAAF MEMBUTUHKAN JIWA BESAR. BERJIWA BESAR TENTU BUTUH BELAJAR DAN BERLATIH DI SETIAP KESEMPATAN.
Source : rahasia-masa-depan.blogspot.com (William Eight)
Picture by : spotgooblog.blogspot.com
No comments:
Post a Comment